Sunday, December 12, 2010

Apa bedanya magnitudo fotografi, magnitudo visual, magnitudo bolometrik, dan magnitudo mutlak?

magnitudo visual adalah magnitudo yang diukur berdasarkan kepekaan mata yang berada dalam daerah 5500 Angstrom, merupakan magnitudo awal tapi pada abad 19 fotografi mulai berkembang , dan pada saat itu fotografi mulai digunakan untuk mengecek magnitudo (magnitudo fotografi). Dibandingkan dengan visual (yang hanya memakai mata) emulsi fotografi lebih peka terhadap cahaya biru. Jadi semisal anda akan mengukur magnitudo bintang Rigel yang bewarna dan Betelgeuse yang bewarna merah di rasi Orion, dan anda pada saati itu mengamati dengan fotografi jadi bintang rigel akan tampak lebih terang sedangkan jika anda memakai visual bintang Betelgeuse akan tampak lebih terang. Maka dari kedua magnitudo diatas anda dapat mengambil kesimpulan bahwa magnitudo fotografi dan visual berbeda. Selisihnya dinamakan indeks warna. Jadi makin biru suatu bintang makin kecil indeks warnanya atau semakin panas. Didapatlah rumus:

Mv = -2,5 log Ev + Cv
Mfot= -2,5 log Efot + Cfot

Kalau magnitudo bolometrik lain lagi, jika dalam magnitudo fotografi dan visual hanya membicarakan panjang gelombang di magnitudo bolometrik akan membicarakan tentang keseluruhan energi yang dipancarkan bintang(luminositas)

Rumusnya adalah
Mbol = -2,5 log Ebol+Cbol

Jika kita bicara magnitudo bolometrik maka tidak dapat dipisahkan dengan Magnitudo mutlak atau magnitudo mutlak bolometrik
Rumusnya
Mbolm = -2,5 log Ebolm + C bolm
gak ada yang beda sama yang tadi, hanya saja kedua persamaan barusan bisa dimasukkan
jika anda hitung nanti dapat persamaan:
Mbol-Mbolm = 2,5 log L/Lmutlak

Modulus jarak:
Mbol-Mbolm = -5 + 5 log d

Apabila Mbol sudah ditentukan bisa nentukan luminositas juga. Tapi jika mengamati dengan magnitudo bolometrik harus berada di atas atmosfer karena beberapa panjang gelombang gak bisa masuk ke atmosfer (ingat, jendela optik dan jendela radio)

Untuk memudahkan pengamat, sekarang anda tidak usah ke atas atmosfer tapi dengan berkembangnya ilmu pengetahuan kita bisa menentukan secara tidak langsung, yaitu dengan memberikan koreksi pada magnitudo visualnya. Jadi gabungkan magnitudo visual tadi dengan magnitudo bolometriknya

dapat persamaan:
Mv-Mbol = -2,5 log Ev/Ebol + C
ini yang dinamakan koreksi bolometrik atau disingkat BC atau KB

BC bergantung pada temperatur. Bintang yang panas energinya dipancarkan melalui inframerah sehingga BCnya besar sedangkan Bintang sedang energinya dipancarkan melalui daerah visual jadi BCnya kecil.
BC juga dapat berpengaruh pada indeks warna

SISTEM MAGNITUDO (Sumber artikel ini dari http://hansgunawan-astronomy.blogspot.com)


Materi yang berikutnya akan dibahas sebagai rangkaian pengenalan akan fotometri adalah sistem magnitudo. Magnitudo adalah suatu sistem skala ukuran kecerlangan bintang. Sistem magnitudo ini dibuat pertama kali oleh Hipparchus pada abad 2 sebelum masehi. Dia membagi terang bintang menjadi 6 kelompok berdasarkan penampakkannya dengan mata telanjang. Bintang yang paling terang diberi magnitudo 1 sedangkan bintang yang paling lemah yang bisa diamati oleh mata telanjang diberi magnitudo 6. Hal yang perlu diperhatikan bahwa semakin terang suatu bintang, semakin kecil magnitudonya. Kelemahan sistem ini adalah tidak adanya suatu standar baku tentang terang bintang dan penentuan skala ini sangat tergantung pada kejelian dan kualitas mata pengamat (karena bersifat kualitatif)

Ilmuwan John Herschel mendapatkan bahwa kepekaan mata dalam menilai terang bintang bersifat logaritmik. Bintang yang bermagnitudo 1 ternyata 100 kali lebih terang dibandingkan bintang yang bermagnitudo 6. Berdasarkan fakta ini, Pogson merumuskan skala magnitudo secara kuantitatif. Hal ini menyebabkan sistem magnitudo semakin banyak digunakan hingga saat ini.

Skala Pogson untuk magnitudo (semu):
m1 - m2 = -2,5log(E1/E2)
dengan :
m1 : magnitudo (semu) bintang 1
m2 : magnitudo (semu) bintang 2
E1 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 1
E2 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 2

Harga acuan (pembanding standar) skala magnitudo mula-mula digunakan bintang Polaris. Bintang Polaris ditetapkan memiliki magnitudo 2 dan bintang lainnya dibandingkan terhadap bintang Polaris. Bintang Polaris, yang juga bintang kutub langit utara, dipilih karena bintang ini terlihat dari seluruh observatorium yang ada di belahan bumi utara (karena pada masa itu, belahan bumi utara lebih berkembang dan maju secara teknologi). Namun, bintang ini ternyata memiliki kecerlangan yang berubah-ubah (Polaris ternyata adalah sebuah bintang variabel Cepheid) sehingga kecerlangan Polaris tidak bisa digunakan sebagai patokan/standar baku. Oleh sebab itu, astronom menentukan bintang - bintang lainnya untuk dijadikan standar.

Untuk mengukur kecerlangan suatu bintang digunakan alat yang dinamakan fotometer. Prinsip kerjanya adalah dengan memanfaatkan gejala fotolistrik. Efek fotolistrik inilah yang membuat Einstein memperoleh hadiah Nobel (dan bukan karena hukum relativitas). Penerapan efek fotolistrik ini antara lain diterapkan pada sel surya, chip CCD, dll. Cahaya (atau gelombang elektromagnetik lainnya) ketika menyentuh kelompok bahan tertentu akan menyebabkan elektron yang ada di permukaan bahan akan terlepas. Jumlah elektron yang terlepas tergantung dari intensitas radiasi gelombang elektromagnetik yang diterimanya. Jumlah elektron yang dihasilkan ini dapat menghasikan arus listrik yang dapat kita ukur. Dengan prinsip inilah, kita dapat mengukur intensitas cahaya sebuah bintang.

Cara terbaik untuk mengukur magnitudo adalah dengan membandingkan kecerlangan suatu bintang dengan bintang standar yang ada di dekatnya. Hal ini disebabkan perbedaan keadaan atmosfer antara kedua bintang (bintang standar dan bintang program/yang diamati) tidaklah besar. Atmosfer Bumi dapat menyerap sebagian cahaya bintang dan besarnya penyerapan tergantung dari ketinggian dan kondisi atmosfer yang dilewati cahaya bintang sebelum sampai ke detektor pengamat. Pada saat ini, sudah banyak bintang standar, baik di langit belahan utara maupun selatan.

Magnitudo yang kita bahas di atas merupakan ukuran terang bintang yang kita lihat atau terang semu (ada faktor jarak dan penyerapan yang harus diperhitungkan). Magnitudo yang menyatakan ukuran fluks energi bintang yang kita terima/ukuran terang bintang yang kita lihat/jumlah foton yang kita terima disebut magnitudo semu (apparent magnitude).

Untuk menyatakan luminositas atau kuat sebenarnya sebuah bintang, kita definisikan besaran magnitudo mutlak (intrinsic/absolute magnitude), yaitu magnitudo bintang yang diandaikan diamati dari jarak 10 pc.

Skala Pogson untuk magnitudo mutlak (M) :
M1 - M2 = -2,5log(L1/L2)
dengan :
M1 : magnitudo mutlak bintang 1
M2 : magnitudo mutlak bintang 2
L1 : Luminositas bintang 1
L2 : Luminositas bintang 2

Hubungan antara magnitudo semu (m) dan magnitudo mutlak (M) disebut modulus jarak.
m - M = -5 + 5 log d
dengan d adalah jarak bintang (dalam pc) dan (m-M) disebut modulus jarak.

Persamaan modulus jarak umumnya digunakan dalam menentukan jarak bintang-bintang yang jauh secara tidak langsung (metode indirect). Seperti yang sudah pernah dibahas sebelumnya bahwa metode paralaks trigonometri hanya bisa menentukan jarak secara akurat untuk beberapa bintang dengan jarak kurang dari 500 pc. Untuk bintang yang lebih jauh lagi, perlu digunakan metode-metode tak langsung (indirect). Salah satunya adalah dengan mengukur magnitudo semu bintang lalu memperkirakan magnitudo mutlaknya. Cara memperkirakan magnitudo mutlak ini banyak metode/caranya. Dengan mengetahui magnitudo semu dan perkiraan magnitudo mutlak, maka kita bisa memperkirakan jarak suatu bintang dengan modulus jarak.

Hal yang perlu diperhatikan adalah persamaan modulus jarak di atas valid/benar/akurat jika diasumsikan tidak ada materi antar bintang yang terletak di antara arah pandang kita ke bintang. Materi antar bintang tersebut dapat mengabsorpsi sebagian cahaya bintang. Jika keberadaan serapan oleh materi antar bintang (MAB) tidak diabaikan, maka persamaan modulus jaraknya :
m - M = -5 + 5 log d + AV
dengan AV : konstanta serapan materi antar bintang.

Contoh:
Magnitudo mutlak sebuah bintang adalah M = 5 dan magnitudo semunya adalah m = 10. Jika absorpsi oleh materi antar bintang diabaikan, berapakah jarak bintang tersebut ?

Jawab : m = 10 dan M = 5, dari rumus Pogson
m - M = -5 + 5 log d
diperoleh, 10 - 5 = -5 + 5 log d
5 log d = 10
log d = 2 –> d = 100 pc

Sebelum perkembangan fotografi, magnitudo bintang ditentukan dengan mata. Kepekaan mata untuk daerah panjang gelombang yang berbeda tidak sama. Mata terutama peka untuk cahaya kuning hijau di daerah λ = 5 500 Å, karena itu magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut magnitudo visual atau mvis.

Dengan berkembangnya fotografi, magnitudo bintang selanjutnya ditentukan secara fotografi. Pada awal fotografi, emulsi fotografi mempunyai kepekaan di daerah biru-ungu pada panjang gelombang sekitar 4.500 Å. Magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut magnitudo fotografi atau mfot .

Jadi, untuk suatu bintang, mvis berbeda dari mfot. Selisih kedua magnitudo tersebut, yaitu magnitudo fotografi dikurang magnitudo visual disebut indeks warna (Color Index - CI).
Semakin panas atau makin biru suatu bintang, semakin kecil indeks warnanya.

Dengan berkembangnya fotografi, selanjutnya dapat dibuat pelat foto yang peka terhadap daerah panjang gelombang lainnya, seperti kuning, merah bahkan inframerah.

Pada tahun 1951, H.L. Johnson dan W.W. Morgan mengajukan sistem magnitudo yang disebut sistem UBV, yaitu :

U = magnitudo semu dalam daerah ultraungu (λef = 3500 Å)
B = magnitudo semu dalam daerah biru ( λef = 4350 Å)
V = magnitudo semu dalam daerah visual ( λef = 5550 Å)

Dalam sistem UBV ini, indeks warna adalah U-B dan B-V. Semakin panas suatu bintang, semakin kecil nilai (B-V) nya.

Dewasa ini pengamatan fotometri tidak lagi menggunakan pelat film, tetapi dilakukan dengan kamera CCD, sehingga untuk menentukan bermacam-macam sistem magnitudo tergantung pada filter yang digunakan.

Contoh:
Tiga bintang diamati magnitudo dalam panjang gelombang visual (V) dan biru (B) seperti yang diperlihatkan dalam tabel di bawah.

No.

B

V

1

8,52

8,82

2

7,45

7,25

3

7,45

6,35

  1. Tentukan bintang nomor berapakah yang paling terang ? Jelaskanlah alasannya
  2. Bintang yang anda pilih sebagai bintang yang paling terang itu dalam kenyataannya apakah benar-benar merupakan bintang yang paling terang ? Jelaskanlah jawaban anda.
  3. Tentukanlah bintang mana yang paling panas dan mana yang paling dingin. Jelaskanlah alasannya.

Jawab:

  1. Bintang paling terang adalah bintang yang magnitudo visualnya paling kecil. Dari tabel tampak bahwa bintang yang magnitudo visualnya paling kecil adalah bintang no. 3, jadi bintang yang paling terang adalah bintang no. 3
  2. Belum tentu karena terang suatu bintang bergantung pada jaraknya ke pengamat seperti terlihat pada rumus yang sudah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu bintang yang sangat terang bisa tampak sangat lemah cahayanya karena jaraknya yang jauh.
  3. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita tentukan dahulu indeks warna ketiga bintang tersebut, karena makin panas atau makin biru sebuah bintang maka semakin kecil indeks warnanya.

Nomor bintang

B

V

B - V

1.

8,52

8,82

-0,30

2.

7,45

7,25

0,20

3.

7,45

6,35

1,10

Dari tabel di atas tampak bahwa bintang yang mempunyai indeks warna terkecil adalah bintang no. 1. Jadi bintang terpanas adalah bintang no. 1.

Magnitudo Bolometrik
Sistem magnitudo yang sudah kita bahas di atas hanya diukur pada panjang gelombang tertentu saja (mvis,mfot,mB,mU). Walaupun berbagai magnitudo tersebut dapat menggambarkan sebaran energi pada spektrum bintang sehingga dapat memberikan petunjuk mengenai temperaturnya, namun belum dapat memberikan informasi mengenai sebaran energi pada seluruh panjang gelombang yang dipancarkan oleh suatu bintang. Oleh sebab itu, didefinisikanlah sistem magnitudo bolometrik (mbol) yang menyatakan magnitudo bintang yang diukur dalam seluruh panjang gelombang.

Magnitudo mutlak bolometrik bintang sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui luminositas dari sebuah bintang (energi total yang dipancarkan permukaan bintang per detik) dengan membandingkannya dengan magnitudo mutlak bolometrik Matahari.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhe57MDfqKWof6O77kGsz2Lm_-ICCKP5grXBrkYJj0OOUQqx5zZzHkpGqBW6EJAJbQHHtsDqossnLx1uAguW1Eng78LXHJJ0i7hf-qkWduMGiBHfWeWjpbc84V5rz-l9nVX8Psbz9X9lru0/s400/mag+bolometrik.jpgDengan Mbol = magnitudo mutlak bolometrik bintang
Mbol¤ = magnitudo mutlak bolometrik Matahari (4,74)

Persamaan modulus jarak untuk magnitudo bolometrik (absorpsi MAB diabaikan):
mbol - Mbol = -5 + 5log d
dengan d dalam parsec.

Apabila Mbol suatu bintang dapat ditentukan, maka luminositasnya juga dapat ditentukan (dapat dinyatakan dalan luminositas Matahari). Luminositas bintang merupakan parameter yang sangat penting dalam teori evolusi bintang. Sayangnya, magnitudo mutlak bolometrik sangat sukar ditentukan, karena beberapa panjang gelombang tidak dapat menembus atmosfer bumi. Untuk bintang yang panas, sebagian energinya dipancarkan pada daerah ultraviolet. Untuk bintang yang dingin, sebagian energinya dipancarkan pada daerah inframerah. Oleh karena itu, pengamatan magnitudo bolometrik harus dilakukan di atas atmosfer.

Untuk memudahkan, magnitudo bolometrik ditentukan secara teori berdasarkan pengamatan di bumi. Atau, dapat ditentukan secara tidak langsung, yaitu dengan memberikan koreksi pada magnitudo visualnya, yang disebut koreksi bolometrik (Bolometric Correction - BC).

mv - mbol = BC

Mv - Mbol = BC

Nilai BC tergantung pada temperatur atau warna bintang.

Untuk bintang yang sangat panas, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah ultraviolet sedangkan untuk bintang yang sangat dingin, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah inframerah (hanya sebagian kecil saja pada daerah visual). Untuk bintang-bintang seperti ini, harga BC-nya besar. Untuk bintang-bintang yang bertemperatur sedang, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah visual, sehingga harga BC-nya kecil.

Karena harga BC bergantung pada warna bintang, maka kita dapat mencari hubungan antara BC dan indeks warna (B-V). Untuk bintang yang dapat ditentukan magnitudo bolometriknya. Didefinisikan bahwa harga terkecil BC adalah nol (BC ≥ 0). Untuk BC = 0 untuk (B-V) = 0,3.

Hubungan antara nilai BC dengan indeks warna (CI) ditunjukkan dalam grafik di bawah ini:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKFeYWJxd1NnnovO_0iQfLRbmk09GgzsR7jTA8fM8uEX2vsORXs2CtlvLdGqcR-RNQZwIbuDSgok-Zi1eqF9g8S_gZsC7RZOARytuxqQyKxXhLKvVnSJRAbolrFpeTa5QW0x2WDg1UxDbj/s400/hub+BC+dengan+indeks+warna+%28CI%29.png

Untuk Matahari, magnitudo bolometriknya (mbol¤) = -26,83, magnitudo mutlak bolometriknya adalah Mbol¤ = 4,74 dan koreksi bolometriknya BC = 0,08. Berikut disajikan tabel temperatur efektif dan koreksi bolometrik untuk bintang-bintang deret utama dan bintang maharaksasa.

B - V

Bintang deret utama

Bintang maharaksasa

Tef

BC

Tef

BC

- 0,25

24500

2,30

26000

2,20

- 0,23

21000

2,15

23500

2,05

- 0,20

17700

1,80

19100

1,72

- 0,15

14000

1,20

14500

1,12

- 0,10

11800

0,61

12700

0,53

- 0,01

10500

0,33

11000

0,14

0,00

9480

0,15

9800

- 0,01

0,10

8530

0,04

8500

- 0,09

0,20

7910

0

7440

- 0,10

0,30

7450

0

6800

- 0,10

0,40

6800

0

6370

- 0,09

0,50

6310

0,03

6020

- 0,07

0,60

5910

0,07

5800

- 0,003

0,70

5540

0,12

546

0,003

0,80

5330

0,19

5200

0,10

0,90

5090

0,28

4980

0,19

1,00

4840

0,40

4770

0,30

1,20

4350

0,75

4400

0,59

Latihan :

  1. Bintang A tampak mempunyai kecerlangan yang sama pada filter merah dan biru. Bintang B tampak lebih terang pada filter merah daripada filter biru. Bintang C tampak lebih terang pada filter biru daripada di filter merah. Urutkan bintang-bintang itu berdasarkan pertambahan temperaturnya.
  2. The binary star Capella has a total magnitude of 0.21m and the two components differ in magnitude by 0.5m. The parallax of Capella is 0.063″. Calculate the absolute magnitudes of the two components.
  3. There are about 250 millions of the stars in the elliptical galaxy M32. The visual magnitude of this galaxy is 9. If the luminosities of all are equal, what is the visual magnitude of one star in this galaxy?
  4. Two stars have the same apparent magnitude and are of the same spectral type. One is twice as far away as the other. What is the relative size of the two stars?
  5. Sebuah galaksi diamati memiliki magnitudo visual mV = 21. Magnitudo ini berasosiasi dengan energi dari 1011 bintang yang ada di dalamnya (terdiri dari 3 jenis). Perkirakan/hitung jarak galaksi tersebut. Untuk itu gunakan asumsi sebagai berikut

Jenis bintang

MV

Jumlah (%)

a

1

20

b

4

50

c

6

30



Diagram Hertzsprung-Russell atau diagram H-R (seringkali disebut juga sebagai diagram warna-magnitudo) adalah diagram hubungan antara magnitudo mutlak/luminositas dan kelas spektrum bintang/indeks warna. Diagram ini dikembangkan secara terpisah oleh astronom Denmark, Eijnar Hertzsprung pada tahun 1911 dan astronom Amerika Serikat, Henry Norris Russell pada tahun 1913. Diagram ini sangat penting artinya dalam astrofisika terutama dalam bidang evolusi bintang.

Sejarah

Pada awal abad 20, astronom sudah menyadari adanya keteraturan dalam klasifikasi Harvard sehingga bintang kelas O di satu ujung klasifikasi lebih terang secara intrinsik daripada bintang kelas lainnya hingga kelas M di ujung lainnya. Keteraturan ini mengarahkan astronom pada sebuah teori evolusi bintang (yang kini sudah tidak diakui lagi) yang menyatakan bahwa bintang memulai hidupnya sebagai bintang kelas O yang terang dan panas dan berakhir menjadi bintang kelas M yang dingin. Jika memang teori ini benar, maka pastilah ada keteraturan dalam hubungan antara luminositas/magnitudo mutlak dengan kelas spektrumnya.

Ejnar Hertzsprung kemudian menganalisis bintang-bintang yang kelas spektrum dan magnitudo mutlaknya sudah diketahui dengan pasti, dan meng-konfirmasi hasilnya pada 1905. Hertzsprung menyajikan hasilnya hanya dalam bentuk tabel. Pada 1913, Henry Norris Russel, secara terpisah tiba pada kesimpulan yang sama dan menyajikan hasilnya dalam bentuk diagram. Lebih dari 200 bintang diplot dalam “diagram Russell”, dan hasilnya kebanyakan bintang berada dalam sebuah pita yang terentang dari kiri atas ke kanan bawah diagram.

Astronom Denmark yang lain, Bengt Strömgren, kemudian menyarankan agar diagram tersebut dinamai berdasarkan dua nama penemunya di atas. Hingga kini nama Hertzsprung dan Russell selalu tergabung dalam penyebutannya.[1]

Diagram

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/f/fe/Diagram_HR_versi_id.GIF

Diagram Hertzsprung-Russell hasil plot dari 22 000 bintang yang datanya berasal dari katalog Hipparcos dan 1000 dari katalog Gliese. Tampak bahwa bintang-bintang cenderung berkelompok di bagian tertentu diagram. Yang paling dominan adalah kelompok yang membentuk diagonal diagram dari kiri atas (panas dan cemerlang) hingga kanan bawah (dingin dan kurang cemerlang) yang disebut deret utama. Matahari terletak di deret utama dengan luminositas 1 (magnitudo sekitar 5), dan temperatur permukaan sekitar 5400K (kelas spektrum G2). Berdasar konsensus, sumbu x dari kiri ke kanan menyatakan suhu tinggi ke suhu rendah (tetapi 'warna' dari kecil ke besar).

Bentuk-bentuk diagram

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/2/27/Open_cluster_HR_diagram_ages.gif/300px-Open_cluster_HR_diagram_ages.gif

Diagram HR dua gugus terbuka, M67 dan NGC 188, memperlihatkan perbedaan usia kedua gugus yang tampak dari titik belok deret utamanya.

Diagram Hertzsprung-Russell mempunyai beberapa bentuk dan tata namanya tidaklah terdefinisi secara ketat. Diagram aslinya mencantumkan kelas spektrum dari bintang pada sumbu horisontal dan magnitudo mutlak pada sumbu vertikal. Kuantitas pertama (kelas spektrum) sangat sulit untuk dinyatakan karena nilainya bukanlah kuantitas angka dan di versi diagram modern sering diganti dengan indeks warna B-V dari sebuah bintang. Diagram seperti ini kadang disebut diagram warna-magnitudo. Dalam pengamatan gugus bintang dimana bintang-bintangnya memiliki jarak yang hampir sama, diagram warna-magnitudonya sering dipakai dengan sumbu vertikalnya menunjukkan magnitudo bintang yang tampak.

Diagram bentuk lainnya menggunakan suhu permukaan efektif dari sebuah bintang pada satu sumbunya dan luminositas dari bintang itu pada sumbu lainnya. Bentuk inilah yang dipakai astronom teoretis dalam menghitung model komputer yang menggambarkan evolusi sebuah bintang. Diagram tipe ini mungkin lebih tepat disebut diagram temperatur-luminositas, tetapi istilah ini hampir tidak pernah dipakai, dan nama "Diagram Hertzsprung-Russell" lah yang digunakan. Salah satu keanehan dari diagram H-R bentuk ini adalah suhu mulai ditulis dari nilai tinggi ke nilai rendah (kiri ke kanan pada sumbu horizontal), yang dimaksudkan untuk membantu kemudahan perbandingan dengan diagram H-R normal yang dipakai dari pengamatan.

Meskipun kedua tipe diagram ini mirip, para astronom membuat perbedaan yang tajam diantara keduanya. Hal ini karena sulitnya merubah dari bentuk yang satu ke bentuk yang lainnya, dan semuanya tergantung dari model atmosfer-bintang yang digunakan dan parameter-parameternya (seperti komposisi dan tekanan, selain dari suhu dan luminositas). Juga, seseorang perlu mengetahui jarak dari obyek yang diamati dan derajat serapan materi antar bintangnya. Transformasi empiris antara berbagai indeks warna dan suhu efektif biasanya bisa didapat dari literatur.

Interpretasi

Diagram H-R digunakan untuk menunjukkan jenis-jenis bintang yang berbeda dan juga untuk mencocokkan prediksi model teoritis evolusi bintang dengan pengamatan. Pengelompokan bintang pada jalur yang berbeda (lihat gambar) menunjukkan adanya perbedaan tahap evolusi bintang.

Kebanyakan bintang mendiami suatu jalur dari kiri atas ke kanan bawah yang disebut sebagai deret utama. Ini dapat diinterpretasikan bahwa bagi kebanyakan bintang, makin tinggi suhu permukaannya makin terang cahayanya. Bintang pada kelompok ini adalah bintang yang sedang melangsungkan pembakaran hidrogen di intinya. Hampir 90% usia bintang dihabiskan pada tahap deret utama ini yang menjadi penyebab tingginya populasi. Bintang deret utama disebut juga sebagai bintang katai.

Kelompok yang tampak terlihat jelas berikutnya adalah kelompok yang disebut sebagai cabang raksasa, tempat bagi bintang-bintang yang sedang melangsungkan pembakaran hidrogen di kulit yang mengelilingi inti helium yang belum terbakar. Ciri lainnya yang dapat dilihat dengan jelas adalah adanya gap antara deret utama dan cabang raksasa. Gap ini disebut sebagai gap Hertzsprung dan menunjukkan evolusi yang berlangsung cepat pada saat pembakaran hidrogen di kulit yang mengelilingi inti dimulai.

No comments:

Post a Comment